Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam acara puncak peringatan Pekan ASI 2007 di Istana Negara, Senin pagi (27/8). Menurut Ibu Ani, hal itu sejalan dengan penelitian Unicef yang menyebutkan bahwa inisiasi menyusui setelah satu jam pertama kelahiran dini dapat menyelamatkan 30.000 bayi di Indonesia yang biasanya meninggal pada bulan pertama setelah kelahirannya. Dengan pemberian ASI dalam satu jam pertama, lanjut dia, maka bayi akan mendapatkan zat-zat gizi yang penting dan terhindar dari berbagai penyakit berbahaya pada masa yang paling rentan dalam kehidupannya. Dikatakan Ibu Ani bahwa angka kematian bayi mencapai 35 per 1.000 kelahiran hidup atau sekitar 175.000 bayi meninggal setiap tahunnya sebelum mencapai usia satu tahun. Namun menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002-2003 di Indonesia hanya empat persen bayi mendapatkan ASI dalam satu jam kelahirannya. Oleh karena itu, Ibu Negara mengimbau semua petugas kesehatan yang terlibat dalam persalinan, termasuk para dokter dan bidan untuk membantu ibu-ibu melaksanakan inisiasi menyusui dini segera setelah melahirkan. Pada kesempatan itu Ibu Ani dengan didampingi oleh Meneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari melakukan dialog dengan pasangan suami istri yang berhasil menyusui bayinya dalam satu jam pertama setelah lahir yaitu pasangan suami istri presenter Sophie Navita dan Pongki Barata serta Elis Susanti dan Junaedi yang melahirkan dengan bantuan bidan desa di Tangerang. Ibu Ani menanyakan kepada Sophie dan Pongki mengenai kesan-kesannya dalam melakukan inisiasi menyusui dini. "Saya merasa terkesan dengan kejadian saat si bayi ternyata dapat menemukan puting secara alamiah dan menyusu," kata Sophie. Sedangkan Pongki mengaku bahwa perannya dalam program inisiasi menyusu dini hanya sebatas dalam memfasilitasi kebutuhan sang istri. Senada dengan Sophie, Ellis mengatakan bahwa bayinya memerlukan waktu sekitar 30 menit untuk menemukan putingnya yang sebelah kanan. Pada kesempatan itu ia juga mengatakan bahwa anak pertamanya tidak mengalami inisiasi menyusu dini dan justru langsung diberi susu formula oleh bidan yang membantunya melahirkan karena ketidaktahuan. Dengan tema peringatan pekan ASI Sedunia 2007 yaitu "Menyusu Satu Jam Pertama Kehidupan Dilanjutkan dengan Menyusui Eksklusif 6 bulan, Menyelamatkan Lebih Dari 1 juta Bayi", para ibu di Indonesia diimbau melakukan inisiasi menyusu dini. Pada kesempatan itu hadir juga para istri menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Ketua Umum Kowani Linda Agum Gumelar dan para pimpinan organisasi kesehatan nasional maupun lembaga donor. (Ant/OL-03)
28 Agustus 2008
Inisiasi Menyusui Dini Selamatkan Bayi
27 Agustus 2008
Slogan Sampah: Apa perlunya?
Bukan rahasia lagi bahwa sampah di Jakarta dan sekitarnya masih dikelola secara tradisional, dan karena itu menimbulkan masalah yang tidak kecil. Delapan ribu ton sampah yang diproduksi penduduk Jakarta bukan perkara kecil, apalagi kalau sekitar 1300 toh di antaranya (15,3%) dibuang sembarangan, entah di jalanan, entah di kali/got. Untuk mengatasinya, tentunya bukan hanya mesin-mesin atau sistem yang baik saja yang diperlukan. Perilaku masyarakat pun harus diubah.Jika urusan mesin, sarana-prasarana dan sistem sudah seharusnya menjadi tanggung-jawab pemerintah, Gerakan Hidup Bersih dan Sehat (GHBS), yang nota bene adalah semacam lembaga swadaya masyarakat, yang bergerak dari masyarakat untuk masyarakat, ingin ikut berperan mengatasi masalah lingkungan hidup di Jakarta pada umumnya, dan masalah sampah pada khususnya. Sasaran pokoknya adalah berpartisipasi dalam mengubah perilaku anggota masyarakat (perilaku perorarangan) yang mendukung pengelolaan sampah yang lebih modern atau lebih ’berbudaya.’Dalam hal ini, GHBS ingin mendorong masyarakat membentuk perilaku atau kebiasaan sosial menaruh dan memilah sampah. Mengingat bahwa kebiasaan sosial membutuhkan juga perubahan kesadaran, dan juga penyediaan sarana-prasarana pembantu, serta aturan pendukung, kerja-sama dengan semua pihak amat diperlukan. Selain itu, waktu yang dibutuhkan pun tidak pendek. Supaya sungguh menjadi kebiasaan, proses yang cukup panjang harus dilalui.Salah satu contoh kebiasaan sosial yang relatif baru di Jakarta atau juga di Indonesia adalah antre, karena memang baru akhir-akhir ini orang bisa cukup spontan antre untuk mendapatkan sesuatu, jika yang mau mendapatkan tidak sedikit. Menurut pengamatan, antre mulai serius dibentuk pada akhir tahun 1980-an atau awal 199-an, baik dengan pemaksaan dengan pagar besi (sebagai wujud dari aturan), atau dengan penyediaan sarana pembantu (misalnya nomor antrean), serta dengan slogan-slogan dalam bentuk stiker yang mengingatkan orang.Di awal pembentukan kebiasaan sosial antre itu, slogan bertuliskan ”Bebek aja bisa ngantre!” dengan gambar tiga bebek berbaris punya peran yang tidak kecil. Stiker itu dipasang dimana-mana, di tempat umum, khususnya di tempat yang biasa menuntut antre, seperti tempat pembelian tiket bus, kereta, dan pesawat. Meski pada awalnya masih banyak pelanggaran, dan orang yang menyerobot lalu ditegur masih marah, sekarang ini antre sudah cukup spontan dilakukan orang. Yang menyerobot lalu ditegur, sudah malu. Mungkin malu pada bebek! Itulah peran slogan tadi.Lomba slogan ’sampah’ ini pun bertujuan untuk menggugah, menggelitik dan mendorong orang untuk mau menaruh dan memilah sampah, atau setidaknya membuang sampah pada tempatnya. Karena itu, yang diharapkan adalah slogan yang tidak bombastis, melainkan slogan yang mungkin lucu, tetapi mudah diingat, serta menggelitik orang. Diharapkan, slogan ini nanti juga bisa dipasang/ditempel di tempat-tempat umum di Jakarta dan sekitarnya. Harapannya, tidak sampai sepuluh tahun, perilaku orang terkait dengan sampah tidak katro’ lagi (jika meminjam istilah Tukul Arwana).
JAMKESMAS
Setelah memperbarui hubungan kerja dengan PT. Askes, Menteri Kesehatan mengeluarkan kebijakan baru untuk melaksanakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakt Miskin (JPKMM) yang dinamakan dengan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini diberlakukan sejak Januari 2008.
Perubahan ini dilakukan setelah melihat banyaknya ketimpangan dalam pelaksanaan program askekin kepada masyarakat, baik dalam hal sosialisasi program, kualitas pelayanan maupun pengelolaan anggaran. Di kota Medan sendiri, hasil temuan BPK menunjukkan terjadi peningkatan penggunaan dana askeskin sebesar 23 persen. Ini disebabkan karena ada negosiasi antara PT. Askes dengan pihak rumah sakit dalam menetapkan tarif pelayanan kesehatan. Kesepakatan ini tidak sesuai dengan Perda No. 20 tahun 2002 rmenegenai tarif pelayanan kesehatan kelas II dan III di RSU Pirngadi.
Jumlah masyarakat Medan yang berhak menerima SKTM sebanyak 412.244 orang. Jumlah ini ditetapkan berdasarkan kuota yang ditetapkan Menteri Kesehatan dan disahkan menjadi database kota melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Dalam program Jamkesemas keterlibatan Pemerintah Daerah lebih besar. Pada tahun 2007, Pemda membuat program asuransi Medan Sehat 2010 yang dikenal dengan nama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPKMS). Program ini ditujukan untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi masyrakat miskin yang tidak memperoleh askeskin dan asuransi lainnya. Subsidi APBD 2007 untuk program ini sebesar 15. Namun program ini tidak terealisasi karena tidak terealisasi karena dana baru diberikan bulan Oktober dan November. mapi sekarang pun program ini tidak dimasukkan ke dalam alokasi dana RAPBD
Perubahan ini dilakukan setelah melihat banyaknya ketimpangan dalam pelaksanaan program askekin kepada masyarakat, baik dalam hal sosialisasi program, kualitas pelayanan maupun pengelolaan anggaran. Di kota Medan sendiri, hasil temuan BPK menunjukkan terjadi peningkatan penggunaan dana askeskin sebesar 23 persen. Ini disebabkan karena ada negosiasi antara PT. Askes dengan pihak rumah sakit dalam menetapkan tarif pelayanan kesehatan. Kesepakatan ini tidak sesuai dengan Perda No. 20 tahun 2002 rmenegenai tarif pelayanan kesehatan kelas II dan III di RSU Pirngadi.
Jumlah masyarakat Medan yang berhak menerima SKTM sebanyak 412.244 orang. Jumlah ini ditetapkan berdasarkan kuota yang ditetapkan Menteri Kesehatan dan disahkan menjadi database kota melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Dalam program Jamkesemas keterlibatan Pemerintah Daerah lebih besar. Pada tahun 2007, Pemda membuat program asuransi Medan Sehat 2010 yang dikenal dengan nama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Medan Sehat (JPKMS). Program ini ditujukan untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi masyrakat miskin yang tidak memperoleh askeskin dan asuransi lainnya. Subsidi APBD 2007 untuk program ini sebesar 15. Namun program ini tidak terealisasi karena tidak terealisasi karena dana baru diberikan bulan Oktober dan November. mapi sekarang pun program ini tidak dimasukkan ke dalam alokasi dana RAPBD
Profil LKMI
Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam HMI Cabang Medan merupakan badan khusus HMI Cabang Medan yang bersifat semi otonom. LKMI didirikan pada Kongres VII HMI, 14 September 1963 di Jakarta.
Sebagai badan khusus yang dibentuk untuk menyalurkan minat, bakat dan kemampuan profesi anggota HMI di bidang kesehatan maka aktivitas lembaga ini diarahkan kepada pengembangan profesi kesehatan।
Di Medan, LKMI telah terbentuk sejak tahun 80-an. Namun di tengah perjalanannya sempat vakum dan aktif kembali pada tahun 2005 dengan dilantiknya kepengurusan LKMI HMI Cabang Medan Periode 2005-2006 pada tanggal 31 Desember. Anggota LKMI HMI Cabang Medan mahasiswa fakultas kedokteran USU, fakultas kesehatan masyarakat USU, fakultas kedokteran gigi USU dan fakultas MIPA jurusan farmasi. LKMI juga berperan untuk memberikan kontribusi bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh LKMI HMI Cabang Medan yaitu:
1। Memperingati hari AIDS dengan membagikan selebaran pada tanggal 1 Desember 2005 di Simpang Air Mancur Bank Bukopin, Medan
2. Memperingati Hari Kesehatan Sedunia, 7 April 2006. bekerjasama dengan RSUP Adam Malik Medan dengan membagikan pin kepada health workers dan pemasangan spanduk kesehatan pada tanggal
3. Pelatihan Community Organizer (CO) pada tanggal 5-7 Mei 2006 dan follow up pada tanggal 8-28 Juni 2006 di Bagan Deli. Pelatihan CO II pada tanggal 3-5 Mei 2007 dengan follow up pada tanggal 31 Mei-1 Juni di Perbarakan, Lubuk Pakam
4. Pengabdian Masyarakat
5. Siaran kesehatan “Jangan Duakan Kesehatanmu” di Radio UMSU, 91.6 FM yang disiarkan setiap minggu sejak tanggal 4 Mei 2007 sampai 10 Mei 2008.
Saat ini, LKMI HMI Cabang Medan Periode 2007-2008 telah memasuki bulan keempat kepengurusan. Sejak pelantikan pada tanggal 1 Maret 2008 lalu beberapa kegiatan telah dilaksanakan yaitu:
1. Round Table Discussion
2. Pelatihan Advokasi
Sebagai badan khusus yang dibentuk untuk menyalurkan minat, bakat dan kemampuan profesi anggota HMI di bidang kesehatan maka aktivitas lembaga ini diarahkan kepada pengembangan profesi kesehatan।
Di Medan, LKMI telah terbentuk sejak tahun 80-an. Namun di tengah perjalanannya sempat vakum dan aktif kembali pada tahun 2005 dengan dilantiknya kepengurusan LKMI HMI Cabang Medan Periode 2005-2006 pada tanggal 31 Desember. Anggota LKMI HMI Cabang Medan mahasiswa fakultas kedokteran USU, fakultas kesehatan masyarakat USU, fakultas kedokteran gigi USU dan fakultas MIPA jurusan farmasi. LKMI juga berperan untuk memberikan kontribusi bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh LKMI HMI Cabang Medan yaitu:
1। Memperingati hari AIDS dengan membagikan selebaran pada tanggal 1 Desember 2005 di Simpang Air Mancur Bank Bukopin, Medan
2. Memperingati Hari Kesehatan Sedunia, 7 April 2006. bekerjasama dengan RSUP Adam Malik Medan dengan membagikan pin kepada health workers dan pemasangan spanduk kesehatan pada tanggal
3. Pelatihan Community Organizer (CO) pada tanggal 5-7 Mei 2006 dan follow up pada tanggal 8-28 Juni 2006 di Bagan Deli. Pelatihan CO II pada tanggal 3-5 Mei 2007 dengan follow up pada tanggal 31 Mei-1 Juni di Perbarakan, Lubuk Pakam
4. Pengabdian Masyarakat
5. Siaran kesehatan “Jangan Duakan Kesehatanmu” di Radio UMSU, 91.6 FM yang disiarkan setiap minggu sejak tanggal 4 Mei 2007 sampai 10 Mei 2008.
Saat ini, LKMI HMI Cabang Medan Periode 2007-2008 telah memasuki bulan keempat kepengurusan. Sejak pelantikan pada tanggal 1 Maret 2008 lalu beberapa kegiatan telah dilaksanakan yaitu:
1. Round Table Discussion
2. Pelatihan Advokasi
Asap Tembakau Hasilkan Polutan Lebih Banyak dari Mesin Diesel
LONDON--MIOL : Riset yang dilakukan oleh para peneliti di Inggris menyatakan bahwa asap rokok menghasilkan polutan 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan sebuah mobil bermesin diesel.Sebuah penelitian di Majalah Tobacco Control, yang diterbitkan oleh Jurnal Kesehatan Inggris, juga menunjukkan bahwa polusi udara akibat asap rokok di suatu tempat tertutup 15 kali lebih besar dibanding di tempat terbuka.Percobaan itu dilakukan di dalam sebuah garasi di kota Chiavenna, sebelah utara Itali, suatu daerah yang memiliki kadar polutan rendah. Polutan yang terdapat pada asap merupakan senyawa yang paling berbahaya pada polusi udara, gas itu dapat berasal dari berbagai jenis sumber termasuk rokok dan pipa pembuangan gas. Zat pencemar itu dapat mengakibatkan berbagai jenis penyakit berbahaya, seperti emfisema, paru-paru basah, asma, dan kanker.Para peneliti memilih garasi sebagai tempat berlangsungnya percobaan, karena ukurannya mirip dengan ruangan kantor di beberapa tempat. Mereka mengatakan bahwa penelitian tersebut harus mendapat perhatian lebih karena hasil percobaan itu, ternyata juga menunjukkan pengaruh buruk asap rokok bagi perokok pasif.Pada percobaan itu, mesin disel mobil merk Ford Mondeo berkapasitas dua liter bahan bakar dinyalakan selama 30 menit dalam sebuah garasi dengan pintu garasi tertutup dan enam ventilasi kecil yang dibiarkan terbuka.Mereka kemudian membandingkan hasilnya dengan asap dari tiga batang rokok yang dinyalakan selama 30 menit pada garasi yang sama dengan kondisi yang sama pula.Sebuah alat analisis polutan digunakan untuk mengukur kadar polutan pada percobaan itu setiap dua menit.Para peneliti juga menemukan bahwa ketika rokok dinyalakan jumlah partikel polutan 15 kali lebih besar dibandingkan di luar ruangan, sedangkan jumlah polutan ketika mesin disel dinyalakan hanya sekitar dua kali lebih besar dibandingkan dengan keadaan di luar. (DPA/Ant/O-1)www.depkes.go. id
06 Agustus 2008
Banyak Anak Indonesia yang Kekurangan Gizi
Coba anda bayangkan, laporan depkes RI tahun 2004 menunjukkan bahwa di seluruh propinsi di Indonesia banyak anak yang kurang gizi. Hanya di Provinsi Bali dan DI Yogyakarta yang berkategori sedang ( prevalensi gizi kurang 10-19 persen) sedangkan yang lainnya berkategori tinggi dan sangat tinggi. Gempa bumi yang terjadi di Jogja tahun 2007 lalu di mungkin juga akan mengubah status gizi anak di provinsi itu. Dapat disimpulkan Indonesia adalah negara yang tidak berdaya dengan SDM sebagian besar rendah potensinya.
Jumlah balita dengan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1989 hinggga 2003. Pada tahun 2003 tercatat jumlah balita dengan gizi kurang sebanyak 5. 119.935 jiwa dan 1.528.676 diantaranya adalah balita dengan gizi buruk.
Kesimpulan ini ternyata sejalan dengan data dari UNDP (United Nation Development Program) tahun 2003. Mereka menyatakan, berdasarkan IPM dan IKM pembangunan sumber daya manusia Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Pada tahun 2003, IPM Indonesia menempati urutan ke 112 dari 174 negara (UNDP, 2003). Sementara IKM Indonesia berada pada peringkat 33 dari 94 negara. Pada tahun 2004, IPM Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP, 2004), yang merupakan peringkat lebih rendah dibandingkan peringkat IPM negara-negara tetangga kita.
Rendahnya IPM dan IKM ini dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia, yang dapat ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka kematian ibu (UNDP, 2001).
Memang sangat klise sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya alamnya, subur tanahnya melimpah hasil lautnya, tapi miskin rakyatnya. Kemiskinan dari segi material mungkin saja terjadi akibat sistem sosial yang menindas, namun amat disayangkan gizi kurang ternyata ikut meningkat bersamaan dengan meningkatnya kemiskinan. Padahal penyediaan sumber makanan, terutama di daerah rural cukup mudah dan murah.
Jadi membicarakan penyebab utama gizi kurang bukan semata masalah kesulitan menyediakan bahan pangan. Ditinjau dari segi medis, ada tiga penyebab anak mengalami kekurangan gizi, yaitu:
1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan, penyebab inilah yang sering beredar dimasyarakat, anak dengan gizi kurang dianggap kurang mendapat cukup makanan,
2. Anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai, hal ini terjadi karena pengetahuan ibu dan keluarga yang rendah tentang gizi, dan pengaruh budaya masyarakat setempat dalam hal kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak,
3. Anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit akan menguras kalori dan protein tubuh untuk membasmi penyakit dan penyembuhan. Anak sakit juga akan mengalami gangguan selera makan, yang semuanya bermuara pada kejadian gizi kurang, dan bila berlangsung lama akan menjadi gizi buruk.
Memahami tiga penyebab mendasar ini sangat penting agar penanganan yang dilakukan tepat dan terhindar dari mispersepsi dan justifikasi yang sering terjadi pada pihak keluarga atau pelayanan kesehatan yang menangani anak dengan gizi kurang, apalagi gizi buruk.
Misalnya, tidak akan berguna makanan dan dengan kualitas baik dan kuantitas optimal apabila si anak sendiri tidak mau makan, karena sebenarnya anak menderita penyakit lain, yang membuatnya tidak nyaman, dan menghabiskan kalori dan protein tubuh untuk melawan penyakit tersebut. Dalam kasus ini, anak bisa mengalami gizi kurang, dan solusinya adalah mengobati penyakit anak, bukan memaksa anak makan.
Gizi kurang dan buruk merupakan suatu hasil dari proses yang berlangsung lama, tidak ada kejadian gizi kurang yang mendadak, menghubungkan kejadian gizi kurang dengan kejadian yang berdekatan waktunya seperti kenaikan BBM, atau setelah dirawat di rumah sakit merupakan kesalahan berpikir pos hoc ergo propter hoc. Penyebab gizi kurang harus dicari jauh ke belakang dan bukan menyalahkan kondisi yang terdekat
Faktor lain yang sering terlupa adalah masalah mitos. Ada banyak mitos yang berhubungan dengan jenis dan pola makan. Contoh sederhana di daerah pantai misalnya, mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Anak-anak tidak boleh terlalu banyak makan ikan, karena bisa menyebabkan cacingan. Hasilnya, di daerah yang kaya ikan, banyak anak yang kurang kalori protein. Memang ada infeksi cacing yang menular melalui ikan, tetapi hanya terjadi di daerah tertentu, dan biasanya dengan memasak ikan, dapat mencegah infeksi. Jadi bukan ikan yang menyebabkan cacingan, tetapi larva atau telur cacing yang ada dalam ikan.
Kesalahan persepsi yang sering terjadi pada ibu-ibu adalah adanya rasa bangga kalau anaknya makan lebih dini. Masih banyak yang bangga bila menyebutkan kalau anaknya mulai makan bubur, pisang, atau makanan lain selain susu ketika usia anak dibawah enam bulan. Sebenarnya kampanye memberikan ASI eksklusif sampai usia balita enam bulan sudah sangat gencar dilakukan, namun ternyata belum mampu menyadarkan segenap lapisan masyarakat. Alasan yang sering diutarakan apabila petugas melarang tindakan yang salah itu, ‘kalau dikasi makan, anak yang tadinya menangis, langsung diam’ dan petugas kesehatan pun diam.
Kesimpulannya masalah gizi kurang membutuhkan penanganan yang komprehensif, sebab banyak faktor yang memengaruhi timbulnya keadaan tersebut। Pembarian makanan tambahan atau bantuan pangan lainnya yang selama ini dilakukan bertujuan memenuhi kecukupan gizi sementara, sifatnya konsumtif, namun belum menyentuh akar masalah. Perlu ada proses pendidikan dan penyadaran agar terjadi perbaikan kondisi kesehatan masyarakat yang konkret dan berkelanjutan.
Jumlah balita dengan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1989 hinggga 2003. Pada tahun 2003 tercatat jumlah balita dengan gizi kurang sebanyak 5. 119.935 jiwa dan 1.528.676 diantaranya adalah balita dengan gizi buruk.
Kesimpulan ini ternyata sejalan dengan data dari UNDP (United Nation Development Program) tahun 2003. Mereka menyatakan, berdasarkan IPM dan IKM pembangunan sumber daya manusia Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Pada tahun 2003, IPM Indonesia menempati urutan ke 112 dari 174 negara (UNDP, 2003). Sementara IKM Indonesia berada pada peringkat 33 dari 94 negara. Pada tahun 2004, IPM Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP, 2004), yang merupakan peringkat lebih rendah dibandingkan peringkat IPM negara-negara tetangga kita.
Rendahnya IPM dan IKM ini dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia, yang dapat ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka kematian ibu (UNDP, 2001).
Memang sangat klise sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya alamnya, subur tanahnya melimpah hasil lautnya, tapi miskin rakyatnya. Kemiskinan dari segi material mungkin saja terjadi akibat sistem sosial yang menindas, namun amat disayangkan gizi kurang ternyata ikut meningkat bersamaan dengan meningkatnya kemiskinan. Padahal penyediaan sumber makanan, terutama di daerah rural cukup mudah dan murah.
Jadi membicarakan penyebab utama gizi kurang bukan semata masalah kesulitan menyediakan bahan pangan. Ditinjau dari segi medis, ada tiga penyebab anak mengalami kekurangan gizi, yaitu:
1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan, penyebab inilah yang sering beredar dimasyarakat, anak dengan gizi kurang dianggap kurang mendapat cukup makanan,
2. Anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai, hal ini terjadi karena pengetahuan ibu dan keluarga yang rendah tentang gizi, dan pengaruh budaya masyarakat setempat dalam hal kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak,
3. Anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit akan menguras kalori dan protein tubuh untuk membasmi penyakit dan penyembuhan. Anak sakit juga akan mengalami gangguan selera makan, yang semuanya bermuara pada kejadian gizi kurang, dan bila berlangsung lama akan menjadi gizi buruk.
Memahami tiga penyebab mendasar ini sangat penting agar penanganan yang dilakukan tepat dan terhindar dari mispersepsi dan justifikasi yang sering terjadi pada pihak keluarga atau pelayanan kesehatan yang menangani anak dengan gizi kurang, apalagi gizi buruk.
Misalnya, tidak akan berguna makanan dan dengan kualitas baik dan kuantitas optimal apabila si anak sendiri tidak mau makan, karena sebenarnya anak menderita penyakit lain, yang membuatnya tidak nyaman, dan menghabiskan kalori dan protein tubuh untuk melawan penyakit tersebut. Dalam kasus ini, anak bisa mengalami gizi kurang, dan solusinya adalah mengobati penyakit anak, bukan memaksa anak makan.
Gizi kurang dan buruk merupakan suatu hasil dari proses yang berlangsung lama, tidak ada kejadian gizi kurang yang mendadak, menghubungkan kejadian gizi kurang dengan kejadian yang berdekatan waktunya seperti kenaikan BBM, atau setelah dirawat di rumah sakit merupakan kesalahan berpikir pos hoc ergo propter hoc. Penyebab gizi kurang harus dicari jauh ke belakang dan bukan menyalahkan kondisi yang terdekat
Faktor lain yang sering terlupa adalah masalah mitos. Ada banyak mitos yang berhubungan dengan jenis dan pola makan. Contoh sederhana di daerah pantai misalnya, mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Anak-anak tidak boleh terlalu banyak makan ikan, karena bisa menyebabkan cacingan. Hasilnya, di daerah yang kaya ikan, banyak anak yang kurang kalori protein. Memang ada infeksi cacing yang menular melalui ikan, tetapi hanya terjadi di daerah tertentu, dan biasanya dengan memasak ikan, dapat mencegah infeksi. Jadi bukan ikan yang menyebabkan cacingan, tetapi larva atau telur cacing yang ada dalam ikan.
Kesalahan persepsi yang sering terjadi pada ibu-ibu adalah adanya rasa bangga kalau anaknya makan lebih dini. Masih banyak yang bangga bila menyebutkan kalau anaknya mulai makan bubur, pisang, atau makanan lain selain susu ketika usia anak dibawah enam bulan. Sebenarnya kampanye memberikan ASI eksklusif sampai usia balita enam bulan sudah sangat gencar dilakukan, namun ternyata belum mampu menyadarkan segenap lapisan masyarakat. Alasan yang sering diutarakan apabila petugas melarang tindakan yang salah itu, ‘kalau dikasi makan, anak yang tadinya menangis, langsung diam’ dan petugas kesehatan pun diam.
Kesimpulannya masalah gizi kurang membutuhkan penanganan yang komprehensif, sebab banyak faktor yang memengaruhi timbulnya keadaan tersebut। Pembarian makanan tambahan atau bantuan pangan lainnya yang selama ini dilakukan bertujuan memenuhi kecukupan gizi sementara, sifatnya konsumtif, namun belum menyentuh akar masalah. Perlu ada proses pendidikan dan penyadaran agar terjadi perbaikan kondisi kesehatan masyarakat yang konkret dan berkelanjutan.
Dr. Hadiki Habib
Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK)
LKMI-HMI Cabang Medan Periode 2006-2007
Saat ini beraktivitas sebagai Relawan MER-C Cabang Medan
INILAH DUNIA KITA, DUNIA KESEHATAN
untuk menjadi mahasiswa fakultas kesehatan, mau tak mau kita telah menjadi bagian dari dunia kesehatan dengan berbagai polemiknya. Terlepas dari sadar atau tidaknya kita menetapkan pilihan itu, sekaranglah saatnya kita menentukan pilihan dengan kesadaran penuh. Hanya ada dua pilihan, tetap menjadi mahasiswa “manis” yang ahli teori atau mulai membuka mata untuk mempelejari ketimpangan aplikasi teori-teori yang kita dapatkan di bangku kuliah.
Profesi kesehatan sedang “naik daun” di Indonesia beberapa tahun belakangan. Bukan karena penemuan canggih ataupun prestasi gemilangnya, melainkan karena carut marutnya. Diawali dengan merebaknya tuntutan terhadap pelayanan dokter yang disebut masyarakat sebagai malpraktik. Sejak saat itu, mulai muncul trend berobat ke negara tetangga. Malaysia (Penang) dan Singapura paling banyak kebagian rezeki . Setiap tahun kedua negara itu mendapat devisa 400 dollar AS dari masyarakat Indonesia kalangan atas yang berobat disana Alasannya hanya sederhana, pelayanan kesehatan di luar negeri lebih baik.
Tidak mau ketinggalan pula, di dalam negeri sendiri, pelaku hukum memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Profesi kesehatan dikawal ketat baik di lapangan maupun di atas kertas. Berbagai peraturan negara disusun untuk mengikat aktivitas profesi kesehatan. Disayangkan peraturan-peraturan itu dibuat dengan berkacamata kuda. Akibatnya, profesi kesehatan benar-benar terpojok hari ini, dan efek jangka panjangnya negara juga yang rugi karena krisis kepercayaan masyarakat.
Selain itu, upaya perbaikan indikator derajat kesehatan masyarakat juga sangat lambat. Walaupun ada penurunan angka kematian ibu, dan angka kematian bayi namun perkembangannya tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga.
Lima, 10 atau 20 tahun lagi, kitalah yang akan menjadi pelaku profesi kesehatan. Kalau tidak belajar dari permasalahan yang kompleks hari ini, muskil kita bisa menghasilkan solusi untuk masa mendatang. benang kusut permasalahan. Pasien kita hari ini adalah bangsa kita. Mari kita tegakkan diagnosa dan mengobati si pasien bersama.
Profesi kesehatan sedang “naik daun” di Indonesia beberapa tahun belakangan. Bukan karena penemuan canggih ataupun prestasi gemilangnya, melainkan karena carut marutnya. Diawali dengan merebaknya tuntutan terhadap pelayanan dokter yang disebut masyarakat sebagai malpraktik. Sejak saat itu, mulai muncul trend berobat ke negara tetangga. Malaysia (Penang) dan Singapura paling banyak kebagian rezeki . Setiap tahun kedua negara itu mendapat devisa 400 dollar AS dari masyarakat Indonesia kalangan atas yang berobat disana Alasannya hanya sederhana, pelayanan kesehatan di luar negeri lebih baik.
Tidak mau ketinggalan pula, di dalam negeri sendiri, pelaku hukum memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Profesi kesehatan dikawal ketat baik di lapangan maupun di atas kertas. Berbagai peraturan negara disusun untuk mengikat aktivitas profesi kesehatan. Disayangkan peraturan-peraturan itu dibuat dengan berkacamata kuda. Akibatnya, profesi kesehatan benar-benar terpojok hari ini, dan efek jangka panjangnya negara juga yang rugi karena krisis kepercayaan masyarakat.
Selain itu, upaya perbaikan indikator derajat kesehatan masyarakat juga sangat lambat. Walaupun ada penurunan angka kematian ibu, dan angka kematian bayi namun perkembangannya tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga.
Lima, 10 atau 20 tahun lagi, kitalah yang akan menjadi pelaku profesi kesehatan. Kalau tidak belajar dari permasalahan yang kompleks hari ini, muskil kita bisa menghasilkan solusi untuk masa mendatang. benang kusut permasalahan. Pasien kita hari ini adalah bangsa kita. Mari kita tegakkan diagnosa dan mengobati si pasien bersama.
PEROKOK PASIF: KORBAN ASAP ROKOK
Asap rokok adalah penyebab kematian 46 ribu warga AS setiap tahunnya. Kematian tersebut diakibatkan serangan jantung. Ia juga pemicu kematian 3.000 orang akibat kanker paru-paru. Badan Proteksi Lingkungan (EPA) Amerika Serikat memastikan bahwa mereka adalah perokok pasif.
EPA mencatat asap rokok memuat empat ribu senyawa kimia, 200 di antaranya toksik (beracun), 43 di antaranya pemicu kanker. Asap rokok juga tercatat sebagai penyebab 62 ribu kasus jantung koroner di Amerika Serikat.
Di Indonesia, Global Tobacco Youth Survey (GYTS) atau survei merokok pada remaja, yang diselenggarakan di tiga kota besar, yakni Jakarta, Bekasi, dan Medan didapatkan beberapa data sebagai berikut:
34 persen remaja di Jakarta pernah merokok dan 16,6 persen hingga kini masih merokok. Di Bekasi, terdapat angka 33 persen murid SMP pernah merokok dan 17,1 persen saat ini masih merokok. Di Medan, 34,9 murid SMP pernah merokok dan 20,9 persen saat ini masih merokok.
Tentang iklan rokok, data survei yang dilaksanakan oleh WHO & CDC (Atlanta) tersebut menunjukkan di Jakarta, 90,9 persen murid SMP melihat iklan bahaya merokok di media dan 93,2 persen melihat iklan rokok di media. Di Bekasi, angka yang didapat adalah 90,7 persen dan 88,8 persen, sedang di Medan 88,6 persen dan 91,8 persen.
Untuk perokok pasif, data GYTS memperlihatkan di Jakarta, 66,8 persen murid SMP tinggal serumah dengan orang yang merokok dan 81,6 persen tercemar asap rokok di luar rumah. Di Bekasi, angkanya 66,3 persen dan 76,1 persen, sedangkan di Medan 69,0 persen dan 79,5 persen.
EPA mencatat asap rokok memuat empat ribu senyawa kimia, 200 di antaranya toksik (beracun), 43 di antaranya pemicu kanker. Asap rokok juga tercatat sebagai penyebab 62 ribu kasus jantung koroner di Amerika Serikat.
Di Indonesia, Global Tobacco Youth Survey (GYTS) atau survei merokok pada remaja, yang diselenggarakan di tiga kota besar, yakni Jakarta, Bekasi, dan Medan didapatkan beberapa data sebagai berikut:
34 persen remaja di Jakarta pernah merokok dan 16,6 persen hingga kini masih merokok. Di Bekasi, terdapat angka 33 persen murid SMP pernah merokok dan 17,1 persen saat ini masih merokok. Di Medan, 34,9 murid SMP pernah merokok dan 20,9 persen saat ini masih merokok.
Tentang iklan rokok, data survei yang dilaksanakan oleh WHO & CDC (Atlanta) tersebut menunjukkan di Jakarta, 90,9 persen murid SMP melihat iklan bahaya merokok di media dan 93,2 persen melihat iklan rokok di media. Di Bekasi, angka yang didapat adalah 90,7 persen dan 88,8 persen, sedang di Medan 88,6 persen dan 91,8 persen.
Untuk perokok pasif, data GYTS memperlihatkan di Jakarta, 66,8 persen murid SMP tinggal serumah dengan orang yang merokok dan 81,6 persen tercemar asap rokok di luar rumah. Di Bekasi, angkanya 66,3 persen dan 76,1 persen, sedangkan di Medan 69,0 persen dan 79,5 persen.
02 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)