06 Agustus 2008

Banyak Anak Indonesia yang Kekurangan Gizi

Coba anda bayangkan, laporan depkes RI tahun 2004 menunjukkan bahwa di seluruh propinsi di Indonesia banyak anak yang kurang gizi. Hanya di Provinsi Bali dan DI Yogyakarta yang berkategori sedang ( prevalensi gizi kurang 10-19 persen) sedangkan yang lainnya berkategori tinggi dan sangat tinggi. Gempa bumi yang terjadi di Jogja tahun 2007 lalu di mungkin juga akan mengubah status gizi anak di provinsi itu. Dapat disimpulkan Indonesia adalah negara yang tidak berdaya dengan SDM sebagian besar rendah potensinya.
Jumlah balita dengan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1989 hinggga 2003. Pada tahun 2003 tercatat jumlah balita dengan gizi kurang sebanyak 5. 119.935 jiwa dan 1.528.676 diantaranya adalah balita dengan gizi buruk.
Kesimpulan ini ternyata sejalan dengan data dari UNDP (United Nation Development Program) tahun 2003. Mereka menyatakan, berdasarkan IPM dan IKM pembangunan sumber daya manusia Indonesia belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Pada tahun 2003, IPM Indonesia menempati urutan ke 112 dari 174 negara (UNDP, 2003). Sementara IKM Indonesia berada pada peringkat 33 dari 94 negara. Pada tahun 2004, IPM Indonesia menempati peringkat 111 dari 177 negara (UNDP, 2004), yang merupakan peringkat lebih rendah dibandingkan peringkat IPM negara-negara tetangga kita.
Rendahnya IPM dan IKM ini dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia, yang dapat ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian balita dan angka kematian ibu (UNDP, 2001).
Memang sangat klise sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya alamnya, subur tanahnya melimpah hasil lautnya, tapi miskin rakyatnya. Kemiskinan dari segi material mungkin saja terjadi akibat sistem sosial yang menindas, namun amat disayangkan gizi kurang ternyata ikut meningkat bersamaan dengan meningkatnya kemiskinan. Padahal penyediaan sumber makanan, terutama di daerah rural cukup mudah dan murah.
Jadi membicarakan penyebab utama gizi kurang bukan semata masalah kesulitan menyediakan bahan pangan. Ditinjau dari segi medis, ada tiga penyebab anak mengalami kekurangan gizi, yaitu:
1. Anak tidak cukup mendapat makanan yang bergizi seimbang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan, penyebab inilah yang sering beredar dimasyarakat, anak dengan gizi kurang dianggap kurang mendapat cukup makanan,
2. Anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai, hal ini terjadi karena pengetahuan ibu dan keluarga yang rendah tentang gizi, dan pengaruh budaya masyarakat setempat dalam hal kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak,
3. Anak menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit akan menguras kalori dan protein tubuh untuk membasmi penyakit dan penyembuhan. Anak sakit juga akan mengalami gangguan selera makan, yang semuanya bermuara pada kejadian gizi kurang, dan bila berlangsung lama akan menjadi gizi buruk.
Memahami tiga penyebab mendasar ini sangat penting agar penanganan yang dilakukan tepat dan terhindar dari mispersepsi dan justifikasi yang sering terjadi pada pihak keluarga atau pelayanan kesehatan yang menangani anak dengan gizi kurang, apalagi gizi buruk.
Misalnya, tidak akan berguna makanan dan dengan kualitas baik dan kuantitas optimal apabila si anak sendiri tidak mau makan, karena sebenarnya anak menderita penyakit lain, yang membuatnya tidak nyaman, dan menghabiskan kalori dan protein tubuh untuk melawan penyakit tersebut. Dalam kasus ini, anak bisa mengalami gizi kurang, dan solusinya adalah mengobati penyakit anak, bukan memaksa anak makan.
Gizi kurang dan buruk merupakan suatu hasil dari proses yang berlangsung lama, tidak ada kejadian gizi kurang yang mendadak, menghubungkan kejadian gizi kurang dengan kejadian yang berdekatan waktunya seperti kenaikan BBM, atau setelah dirawat di rumah sakit merupakan kesalahan berpikir pos hoc ergo propter hoc. Penyebab gizi kurang harus dicari jauh ke belakang dan bukan menyalahkan kondisi yang terdekat
Faktor lain yang sering terlupa adalah masalah mitos. Ada banyak mitos yang berhubungan dengan jenis dan pola makan. Contoh sederhana di daerah pantai misalnya, mata pencaharian penduduknya adalah nelayan. Anak-anak tidak boleh terlalu banyak makan ikan, karena bisa menyebabkan cacingan. Hasilnya, di daerah yang kaya ikan, banyak anak yang kurang kalori protein. Memang ada infeksi cacing yang menular melalui ikan, tetapi hanya terjadi di daerah tertentu, dan biasanya dengan memasak ikan, dapat mencegah infeksi. Jadi bukan ikan yang menyebabkan cacingan, tetapi larva atau telur cacing yang ada dalam ikan.
Kesalahan persepsi yang sering terjadi pada ibu-ibu adalah adanya rasa bangga kalau anaknya makan lebih dini. Masih banyak yang bangga bila menyebutkan kalau anaknya mulai makan bubur, pisang, atau makanan lain selain susu ketika usia anak dibawah enam bulan. Sebenarnya kampanye memberikan ASI eksklusif sampai usia balita enam bulan sudah sangat gencar dilakukan, namun ternyata belum mampu menyadarkan segenap lapisan masyarakat. Alasan yang sering diutarakan apabila petugas melarang tindakan yang salah itu, ‘kalau dikasi makan, anak yang tadinya menangis, langsung diam’ dan petugas kesehatan pun diam.
Kesimpulannya masalah gizi kurang membutuhkan penanganan yang komprehensif, sebab banyak faktor yang memengaruhi timbulnya keadaan tersebut। Pembarian makanan tambahan atau bantuan pangan lainnya yang selama ini dilakukan bertujuan memenuhi kecukupan gizi sementara, sifatnya konsumtif, namun belum menyentuh akar masalah. Perlu ada proses pendidikan dan penyadaran agar terjadi perbaikan kondisi kesehatan masyarakat yang konkret dan berkelanjutan.

Dr. Hadiki Habib
Majelis Pengawas dan Konsultasi (MPK)
LKMI-HMI Cabang Medan Periode 2006-2007
Saat ini beraktivitas sebagai Relawan MER-C Cabang Medan

Tidak ada komentar: